Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa (berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Adapun pada
saat berlakunya UU No. 30 Tahun 1999 ini, ketentuan mengenai arbitrase
sebagaimana diatur dalam pasal 615 sampai 651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705
Rbg tidak berlaku lagi. Adanya UU No. 30 Tahun 1999 telah berusaha mengakomodir
semua aspek mengenai arbitrase baik dari segi hukum maupun substansinya dengan
ruang lingkup baik nasional maupun internasional.
Di
Indonesia sendiri, minat untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase
ini meningkat semenjak diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999 tersebut. Adapun
beberapa hal yang menjadi keuntungan Arbitrase dibandingkan menyelesaikan
sengketa melalui jalur litigasi adalah :
1.
Sidang tertutup
untuk umum
2.
Prosesnya cepat
(maksimal enam bulan)
3.
Putusannya final
dan tidak dapat dibanding atau kasasi
4.
Arbiternya dipilih
oleh para pihak, ahli dalam bidang yang disengketakan, dan memiliki integritas
atau moral yang tinggi
5.
Walaupun biaya
formalnya lebih mahal daripada biaya pengadilan, tetapi tidak ada 'biaya-biaya
lain' ; hingga
6.
Khusus di
Indonesia, para pihak dapat mempresentasikan kasusnya dihadapan Majelis
Arbitrase dan Majelis Arbitrase dapat langsung meminta klarifikasi oleh para
pihak.
Dalam
ruang lingkup internasional, Indonesia maupun pihak-pihak dari Indonesia juga
acap kali menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase. Beberapa contoh
kasusnya adalah:
1. Sengketa antara
Cemex Asia Holdings melawan Indonesia yang diselesaikan
melalui International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID)
pada 2004 sampai 2007
2. Sengketa antara
Pertamina melawan Commerz Asia Emerald yang diselesaikan melalui Singapore
International Arbitration Center (SIAC), Singapore pada tahun 2008
3. Sengketa terkait
Bank Century dimana dua pemegang sahamnya menggugat Pemerintah Indonesia yakni
Rafat Ali Rizvi dan Hesham Al Warraq yang diselesaikan melalui ICSID, Singapore
4. Sengketa antara
Newmont melawan Pemerintah Indoesia yang diselesaikan diiiICSID,WashingtoniiDC
Seiring
perkembangannya, penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini menemui beberapa
permasalahan. Masalah utama adalah terkait dengan pelaksanaan atau eksekusi
putusan arbitrase. Dalam ruang lingkup internasional, putusan arbitrase internasional
dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia apabila tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, telah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, serta apabila salah satu pihak dalam sengketa adalah Negara
Republik Indonesia maka hanya dapat dilaksanakan setelah ada eksekuatur dari
Mahkamah Agung - RI. Permasalahannya, pengadilan di Indonesia seringkali
"dicap" enggan untuk melaksanakan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional dengan alasan bahwa putusan tersebut bertentangan dengan
ketertiban umum. Lain permasalahan, dalam ruang lingkup nasional pelaksanaan
putusan arbitrase juga seringkali terhambat akibat kurangnya kemampuan dan
pengetahuan arbiter Indonesia yang berakibat penundaaniiputusaniiarbitrase.
Berdasarkan
pasal 1 ayat 10 UU Republik Indonesia No 30 tahun 1999, Alternatif Penyelesaian
Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan
dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Sedangkan penyelesaian sengketa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi di luar
pengadilan dapat dilakukan dengan cara :
1.
Melalui pihak
ketiga yaitu :
a.
Mediasi (yang
ditunjuk oleh para pihak atau oleh Lembaga Arbitrase dan Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa);
b.
Konsiliasi
2.
Arbitrase melalui
Lembaga Arbitrase atau Arbitrase AdHoc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar